Senin, 31 Januari 2011

Kehancuran Sistem Uang Kertas Segera Dimulai

Ini adalah tulisan dari Sdr. Sufyan al Jawi - Numismatik Indonesia dari

http://www.wakalanusantara.com/detilurl/Kehancuran.Sistem.Uang.Kertas.Segera.Dimulai/570

Saya me-repostnya untuk kita semua agar diingatkan ttg uang kertas dan unsur ribawinya..

Terjadinya hiperinflasi tak terbantahkan lagi. Sistem uang kertas dunia kian rapuh, dan meledaknya Money Bubble tinggal hitungan hari.

Bila dolar, euro, poundsterling, yen dan yuan tiba-tiba terpuruk, lalu bagaimana dengan rupiah?

Tentu nasibnya lebih parah dari yang pernah dialami rupiah pada masa krisis moneter 1998 silam. Dan tak seorang pun dapat menduga, kalau besok satu liter beras harus dibeli seharga Rp 20.000-an (kini Rp 5000), melonjak 4 kali lipat dalam tempo singkat!

Tentu saja segelintir Yahudi sebagai satu-satunya pihak yang mendulang panen raya di tengah hancurnya ekonomi dunia. Yaitu dengan menciptakan krisis multidimensi bagi enam miliar manusia yang tiba-tiba harus mendadak miskin akibat hiperinflasi. Trilyunan dolar aset manusia berpindah tangan secara licik dalam proses ini.

Banyak analis keuangan dunia memprediksi, bahwa sistem uang kertas segera kolaps, sebentar lagi, tak sampai hitungan 666 hari, atau 22 bulan dari sekarang (sejak Agustus 2010, dan angka 666 adalah simbol Dajjal). Setelah dua mata uang populer rontok pada 2008-2010, yaitu dolar AS dan euro, akibat kasus Subprime Mortgage, pertengahan 2007, yang menyeret keuangan dunia, termasuk memicu terjadinya krisis Eropa (Yunani).

Besok, krisis moneter akan memukul semua mata uang kuat dunia tanpa terkecuali, dan tanpa ampun! Padahal kita baru saja dihebohkan dengan rencana redenominasi rupiah. (Beritanya telah dimuat situs ini, tiga bulan sebelum BI mengumumkannya, awal Mei 2010).

Penyebabnya bukan karena pertarungan sengit antara dolar AS melawan Yuan, seperti yang heboh saat ini. Saling tuding antara Barack Obama dengan PM.Cina, Wen Jiabao, bukan pemicunya.

Wen menjelaskan: "Yuan bukan penyebab defisit AS, yang memicu pengangguran di AS. Penyebab utama defisit perdagangan AS adalah struktur investasi dan tabungan di negara itu. Jadi, tidak ada alasan untuk memaksa yuan menguat terlalu drastis atas dolar AS" (23/9). Dan juga bukan karena Cina bersitegang dengan Jepang.

Ahmadinejad, terang-terangan pidato: "Sistem kapitalis dunia akan segera hancur!", kemudian dia menyampaikan bahwa muamalah dengan dinar emas akan terwujud. Hal ini diungkap pada sidang Konfrensi MDGs, di markas PBB, New York, 20-30 September 2010.

Siapa Dalang Kehancuran Nilai Mata Uang?

Faktor utama rontoknya sistem uang kertas sehingga memicu terjadinya hiperinflasi, justru datang dari sektor nonril (sektor maya), karena bubble jumlah uang yang tercipta di pasar valuta asing (valas).

George Soros adalah salah satu wayang yang paling populer, sebagai simbol dari permainan pasar ini. Sedangkan dalangnya adalah pemilik modal yang bersembunyi di balik korporasi multinasional raksasa: perusahan asuransi, pengelola dana pensiun, perbankan - termasuk The Fed, World Bank & IMF, juga sedikit modal dari perusahaan manufaktur, minyak dan perumahan.

Gelembung uang umumnya berbentuk digital, jumlahnya 92% dari sirkulasi uang dunia. Menteri keuangan AS mengakui, bahwa uang kertas dan koin dolar yang diedar kan oleh The Fed hanya merupakan 8% dari sirkulasi dolar AS di dunia. Sedangkan dolar, kini merupakan devisa paling populer yang dikoleksi oleh banyak negara, dan menguasai hampir 70% sirkulasi mata uang dunia. Perputaran omset pasar valas, pertahunnya sudah diatas $ 150 trilyun (2010), di tahun 2002 saja sudah diatas $ 100 trilyun. Sementara itu, nilai eksport import barang dan jasa dari penjuru dunia baru mencapai $6 trilyun. Ada selisih sekitar $ 140-an trilyun, yang tak jelas akan dibayar dengan apa nantinya? Padahal bubble ini - tak mampu diserap oleh perbankan melalui penciptaan kredit masif (termasuk kredit konsumtif). Bahkan cenderung kembali masuk ke pasar modal, dan ini berbahaya!

Hiperinflasi Yang Tak Terbantahkan

Prediksi para analis keuangan dunia semakin kuat, ketika Nicholas Larkin memberita kan tentang Soros yang memborong emas (Bloomberg, 31 Agustus 2010). Bahkan tulisan para ekonom di situs Drschoon, lebih vokal lagi, misalnya: Jordan Roy-Byrne, menulis "Jalan untuk Hiperinflasi". Dan yang menjadi tanda tanya: kenapa Soros yang dikenal sebagai pemain uang kertas asing dan saham, tiba-tiba borong emas? Ada skenario besar di balik layar yang sedang dimainkan tentunya. Sayangnya, mayoritas ahli ekonomi tidak mampu membaca fenomena ini, mungkin karena kurangnya ilmu mereka atas pengetahuan ilmu mata uang (numismatik).

Di Indonesia, kita dapat membaca skenario Yahudi ini melalui kasus bank berebut emas, dan munculnya uang digital. (Artikel: Bank Berebut Emas Dengan Pegadaian: Ada apa ini?). Juga rencana sentralisasi kartu tanda penduduk (KTP) digital, dan rencana redenominasi rupiah. Semua ini merupakan benang merah yang saling terkait. Namun tak satupun ekonom yang mau peduli.

Harga Emas Bukan Harga Cabai

Akhir Agustus lalu, sejumlah analis pasar AS - Eropa, yakin harga emas $ 1500/oz pada akhir 2010. Kenaikan emas sebesar 25-30% ini terjadi dalam tempo singkat, mengejutkan banyak pihak. Sebab pasca krisis Subprime Mortgage dan krisis Eropa, emas tertahan dikisaran $1200/oz, bahkan stabil $1230/oz pada awal September 2010. Tapi tiba-tiba meroket menjadi $ 1292/oz 23 September 2010. DI bulan Oktober 2010 sudah naik lagi di atas $1360/oz. Lebih jauh, Bloomberg memprediksi emas akan tembus $2000/oz pada tahun 2011.

Prediksi para analis tidaklah berlebihan, sebab kurun waktu delapan tahun saja, emas terapresiasi lebih dari 400%, atau naik 4 kali lipat dari harganya semula. Pada 2002 emas $ 300/oz menjadi $ 1360/oz di tahun 2010. Andai saja, para spekulan tidak membela mati-matian kepentingan bos mereka - para bankir, harga emas sudah lama tembus $7000/oz saat Subprime Mortgage, 2008. Hal serupa juga terjadi terhadap rupiah. Saat dolar lemah, spekulan valas membela rupiah agar tetap perkasa, begitu pula saat euro tersungkur! Aneh? Sebab saat Soeharto dulu mulai dekat dengan umat Islam, para spekulan ramai-ramai merontokan nilai rupiah (krismon, 1998). Kenapa hal ini terjadi?

Jawabnya: karena Indonesia adalah lahan subur bagi pelarian modal (hot money) ketika krisis Amerika dan Eropa terjadi! Bumi pertiwi ini begitu kaya raya, sedangkan para pemimpinnya bangga menjadi kacung investor besar. Saking kayanya, semua aset negara (BUMN) di jual murah. Sumber daya alam mudah dirampok oleh investor asing maupun lokal melaui kontrak karya, tanpa harus membayar mahal pajak dan royalti kepada rezim yang berkuasa.

Kenaikan harga emas, oleh ahli ekonom kacung investor raksasa, dimanipulasi sebagai laiknya perubahan harga cabai. Yang mudah naik dan mudah turun mengikuti musim. Kenapa? Tentu saja agar publik tidak panik, lalu menarik rekening mereka untuk membeli emas, termasuk membeli dinar dirham. Tapi ingat! Harga emas sejatinya tidak akan pernah kembali ke posisi semula, $ 35/oz, saat Richard Nixon melepas ikatan dolar dengan emas, 1971. Bahkan Nixon-lah yang meresmikan Pasar Valas pertama di Chicago, 1972 silam. Coba Anda hitung berapa besar apresiasi emas hingga saat ini?

Emas Ditimbun, Uang Kertas Dihancurkan

Kapitalis raksasa terus mengeruk kekayaan dari bumi, berupa komoditas apa saja, yang penting bisa merampok. Ketika emas perak yang mereka timbun dirasa cukup. Lalu mereka memulai permainan baru, sebuah sistem uang digital. Sistem baru ini, adalah ekonomi Riba berbasis byte, sebuah sistem canggih yang belum pernah dibayangkan oleh kebanyakan orang. Sistem ini, tentu saja akan membentuk sebuah peradaban yang sama sekali baru, kekuasaan dan distribusi kemakmuran yang tidak dikenal sebelumnya. Dengan membentuk kelas sosial, kaya dan miskin yang berbeda dari yang kita tahu saat ini.

Dalam sistem baru ini, korporasi raksasa akan membentuk konsorsium, dan korporasi-korporasi kecil mati karena kalah bersaing atau akibat krisis global. Konsorsium perlahan akan menggusur sistem pemerintahan negara, menjadi sistem pemerintahan korporasi. Para pegawai negeri mutlak menjadi karyawan korporasi. Tentara menjadi satpam penjaga pabrik-pabrik, tambang-tambang, perkebunan, pelabuhan, hutan, sungai, laut, laboratorium, bandara dan pergudangan. Polisi, hakim juga jaksa menjadi satpam sekuriti kepentingan hukum para elit korporasi. Sedangkan rakyat, diubah menjadi aset industri, pembayar sewa dan pajak, sasaran pemasaran produk, juga merangkap menjadi hamba sahaya yang wajib patuh kepada kepentingan perusahaan. Bagaimana mereka memulainya?

Tentunya dengan menghancurkan sistem Riba lama, sistem uang kertas sudah dianggap usang, maka harus dimusnahkan. Jalannya dengan hiperinflasi. Lalu ahli ekonomi mereka segera mendapat kambing hitam untuk disalahkan dan disembelih. Bank sentral perlahan-lahan di satukan (seperti di Eropa), agar saham dan kebijakannya mudah dikontrol. Islam harus tetap disudutkan, tetapi doktrin Salafi pro Saudi harus terus dipelihara, agar muslim tidak menjadi radikal (maksud mereka Islam secara kaffah), dan ulama menjadi bertambah bodoh karena tidak mengerti Riba. Bila hal ini berhasil, maka perbudakan manusia oleh segelintir elit korporasi semakin sempurna kelicikannya.

Kita Berpacu Dengan Waktu

Hingga tulisan ini dimuat, tak ada satu pun media massa yang meresponnya, kecuali situs WIN ini. Untuk menulisnya sebagai buku, membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Minimal empat bulan lamanya, yaitu satu bulan untuk menulis naskah, dan tiga bulan proses penerbitan buku. Ini belum termasuk proses pemasaran. Mungkin saat buku ini dibedah beberapa tahun kemudian, orang-orang sudah merasakan pahitnya hiperinflasi. Lain halnya bila artikel ini ditulis oleh tokoh nasional, tentu orang segera meresponnya.

Hal ini sudah maklum terjadi, misalnya sebelum peristiwa hiperinflasi Jerman, depresi dolar Amerika, dan banyak kasus serupa di negara-negara lainnya. Karena peniup alarm hanya orang kecil yang tidak populer, maka peringatan tanda bahaya diabaikan dan sia-sia. Sehingga puluhan juta manusia harus merasakan dampak kolapsnya ekonomi, menjadi korban dari kebijakan moneter yang merugikan publik.

Dakwah untuk kembali menegakkan zakat dan muamalah dengan dinar dirham terus digencarkan. Bahkan di Kelantan, Malaysia, pada 12 Agustus 2010, telah dimaklumatkan penggunaan dinar dirham dengan standar internasional yang baru, yang berlaku universal. Tanggal 23 Oktober 2010, Zona Wisata Dinar Dirham Cilincing, Jakarta Utara, diresmikan. Inilah saatnya Anda segera mengambil keputusan, ikut Sunnah Nabi Muhammad SAW dengan muamalah dinar dirham, atau bertahan dengan sistem riba bank dan uang kertas?

Kita kini berpacu dengan waktu, di tengah upaya gencar korporasi raksasa mewujudkan makar mereka. Inilah pertempuran yang sesungguhnya! Pertempuran yang tidak dimengerti oleh khalayak ramai, tentang masa depan kemerdekaan hampa manusia. Subhanallah! Bulan Ramadhan 1431 H (Agustus 2010) adalah awal dimulainya perang ini. Wa Allahu 'alam bishawab.[SF]

Rabu, 23 Juni 2010

Subuh Yang Indah Bersamamu, Ya Rasulallah

By : KH. Jalaluddin Rakhmat

Tulisan lama kang Jalal yang pernah saya koleksi..Saya juga lupa dari siapa tulisan ini didapat. Semoga betul memang tuliusan kang Jalal. Mohon izin untuk me-repost karena tulisan akang bagus bagus...

Dini hari di Madinah Al-Munawwarah. Aku saksikan sahabat-sahabat berkumpul di masjidmu. Angin sahara membekukan kulitku. Gigiku gemeretak, kakiku berguncang. 

Tiba-tiba pintu hujrahmu terbuka. Dan kau datang, ya Rasulallah. Kami pandang dikau. "Assalamu 'alaika ayyuhan nabi warahmatullahi wabarakatuh," kudengar salam disampaikan bersahut-sahutan. Kau tersenyum, ya Rasulallah.

Wajahmu bersinar. Angin sahara berubah hangat. Cahayamu memasuki seluruh daging dan jiwaku. Dini hari Madinah berubah menjadi pagi yang indah. Kudengar kau bersabda, "Adakah air pada kalian?"

Cepat-cepat kutengok gharibah-ku. Kulihat para sahabat yang lain sibuk memeriksa kantong mereka, "Tak ada setitik air pun, ya Rasulallah." Kusesali diriku, mengapa tidak kucari air yang cukup sebelum tiba di masjidmu.

Beruntung benar sekiranya kubasahi wajah dan tanganmu dengan percikan air dari kantung airku.

Kudengar suaramu yang indah, "Bawakan padaku wadah yang masih basah." Aku ingin loncat mempersembahkan gharibah airku tapi ratusan sahabatmu berdesakan mendekatimu. Kau ambil satu gharibah air yang kosong. Kau celupkan jari jemarimu yang mulia. Subhanallah, kulihat air mengalir dari sela-sela jemarimu. Kami berdesakan, berebutan berwudu dari pancuran sucimu.

Betapa sejuk air itu ya Rasulallah. Betapa harum air itu ya Nabiyallah. 

Betapa lezat air itu, ya Habiballah. Kulihat Abdullah bin Mas'ud pun mereguk sepuas-puasnya. Qad qâmatish shalâh, qad qâmatish shalah....

Alangkah bahagianya aku bisa salat di belakangmu, ya Sayyidal Anâm.

Ayat-ayat suci mengalir dari suaramu. Melimpah, memenuhi jantung dan seluruh pembuluh darahku.

Usai salat subuh, kau pandangi kami, masih dengan senyum yang indah itu.

Cahaya wajahmu, ya Rasulallah, tak mungkin aku lupakan. Ingin kubenamkan setetes diriku dalam samudera dirimu. Ingin kujatuhkan sebutir pribadiku pada sahara tak terhingga pribadimu.

Kudengar kau berkata, "Menurut kalian, siapakah mahluk yang paling menakjubkan imannya?" Kami jawab serempak, "Malaikat, ya Rasulallah."

"Bagaimana mereka tak beriman, padahal mereka berada di samping Tuhan mereka?" jawabmu. "Kalau begitu para nabi, ya Rasulallah."

"Bagaimana mereka tak beriman, bukankah wahyu turun kepada mereka?"

"Kalau begitu kami, sahabat-sahabatmu, ya Rasulallah."

"Bagaimana kalian tak beriman padaku padahal aku berada di tengah-tengah kalian? Bagaimana sahabat-sahabatku tidak beriman? Mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan." Aku tahu, ya Rasulallah, kami telah saksikan mukjizatmu. Kulihat wajahmu yang bersinar, kulihat air telah mengalir dari sela jemarimu, bagaimana mungkin kami tak beriman kepadamu. Kalau begitu siapa ya Rasulallah, orang yang kau sebut paling menakjubkan imannya?

Langit Madinah bening, bumi Madinah hening. Kami termangu. Ah, gerangan siapa mereka itu? Siapa yang kaupuji itu, ya Rasulallah? Kutahan napasku, kucurahkan perhatianku. Dan bibirmu yang mulia mulai bergerak, "Orang yang paling menakjubkan imannya adalah kaum yang datang sesudahku. Yang beriman kepadaku, padahal mereka tak pernah melihat dan berjumpa denganku. Yang paling menakjubkan imannya adalah orang yang datang setelah aku tiada. Yang membenarkan aku padahal mereka tak pernah melihatku. Mereka adalah saudara-saudaraku."
Kami terkejut. "Ya Rasulallah, bukankah kami saudaramu juga?"

Kau menjawab, "Benar, kalian adalah para sahabatku. Adapun saudaraku adalah mereka yang hidup setelah aku. Yang beriman kepadaku padahal mereka tak pernah melihatku. Merekalah yang beriman kepada yang gaib, yang menunaikan salat, yang menginfakkan sebagian rezeki yang diberikan kepada mereka...(QS. Al-Baqarah; 3)"

Kau diam sejenak ya Rasulallah. Langit Madinah bening, bumi Madinah hening.

Kudengar kau berkata, "Alangkah rindunya aku berjumpa dengan saudara-saudaraku. Alangkah beruntungnya bila aku dapat bertemu dengan saudara-saudaraku."

Suaramu parau dan butiran air mata tergenang di sudut matamu. Kau ingin berjumpa dengan mereka, ya Rasulallah. Kau rindukan mereka, ya Nabiyallah.

Kau dambakan mereka, ya Habiballah....

Wahai Rasulullah, kau ingin bertemu dengan mereka yang tak pernah dijumpaimu, mereka yang bibirnya selalu bergetar menggumamkan shalawat untukmu. Kau ingin datang memeluk mereka, memuaskan kerinduanmu. Kau akan datang kepada mereka yang mengunjungimu dengan shalawat. Masih kuingat sabdamu, "Barangsiapa yang datang kepadaku, aku akan memberinya syafaat di hari kiamat."

Kamis, 17 Juni 2010

Gadai Syariah, apa bedanya dengan Gadai?

Gadai, adalah kata yang sangat umum. Ketika masih kecil, ibu kita barangkali pernah berhubungan dengan kata yang satu ini. Betapa tidak, dengan kasih sayangnya ia akan mencari uang untuk kebutuhan anaknya. Dan gadailah, pintu terakhirnya ketika tidak seorangpun meminjamkannya. Ia akan pergi ke Pegadaian, dan digadaikanlah hartanya. Bisa emas, barang elektronik, atau bahkan kendaraan motor kesayangan bapak kita.

Sekarang, gadai ada embel2nya : Gadai Syariah. Jenis apa lagi ini? Apakah keduanya sama, atau cuma sekedar label saja.

Saya cuma beberapa catatan sederhana tentang itu. 

Gadai yang umum dimaklumi adalah gadai yang biasa dilayani di pegadaian. Ibu-ibu datang ke kantor pegadaian, membawa barang yang mau digadai, ditaksir harganya dan kemudian diputuskan berapa ia dapat pinjaman. Atas pinjamannya ia bisa kenakan bunga pinjaman, misalnya 2% per bulan. ada tanggal jatuh tempo dimana ibu itu harus melunasi. Dan yang pasti ada klausul, bahwa jika ibu ini tidak membayar pinjaman plus bunganya maka barangnya akan dilelang, kepada siapapun dan ibu kita akan menangis sejadi2nya karena barang investasinya yang telah dikumpulakannya akan hilang..

Secara teori, gadai diatur dalam UU Perdata pasal 1150,yaitu :Adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berhutang atau oleh seorang lain atas dirinya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Gadai syariah, secara konsep sangat jauh berbeda dengan gadai yang berlaku di atas tersebut. Secara sederhana, disebutkan bahwa gadai adalah hanya jaminan atas pengembalian saja atas suatu pinjaman. Bank atau lembaga pemberi pinjaman tidak boleh mengambil kelebihan atas pinjman itu. Karena setiap kelebihan adalah riba..

Secara teori, Gadai dalam Fiqh diterangkan bahwa gadai (rahn) adalah perjanjian suatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara sebagai tanggungan pinjaman (marhun bih), sehingga dengan adanya tanggungan utang ini seluruh atau sebagian utang dapat diterima

Secara ringkas persamaan dan bedaan gadai dan gadai syariah adalah :

 Persamaan Gadai (Hukum Perdata) dengan Rahn (hukum Islam) :

  1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang
  2. Adanya anggunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang
  3. Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan
  4. Biaya barang yang digadaikan ditanggung pemberi gadai
  5. Apabila batas aktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau delelang.

 Perbedaan Gadai (Hukum Perdata) dengan Rahn (hukum Islam) :

  1. Rahn dilakukan secara suka rela tanpa mencari keuntungan, gadai dilakuakn dengan prinsip tolong menolong tetapi juga menari keuntungan dengan menarik bunga
  2. Hak rahn berlaku pada seluruh harta (benda bergerak dan benda tidak bergerak).
  3. Rahn menurut hukum islam dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga, sedangkan gadai menurut hukum perdata dilaksanakan melelui suatu lembaga (Perum Pegadaian)

     Pelaku Praktek Gadai :
    1. Masyarakat (perorangan)
    2. Perum Pegadaian
    3. Perbankan

 Rukun Gadai Syariah :

  1. Ar-rahn (yang menggadaikan) dan Al-Murtahin (penerima gadai / yang memberikan pinjaman) adalah orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya
  2. Al-mahrun/Rahn (barang yang digadaikan) harus ada pada saat perjanjian gadai dan barang tersebut merupakan milik sepenuhnya dari pemberi gadai
  3. Al-Mahruun Bih (Utang) adalah sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun
  4. Sighat, Ijab dan Qabul adalah kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.

     Permasalahan Syar’i pada Gadai Konvensional adalah adanya riba 

Peminjam harus memberi tambahan sejumlah uang atau prosentase tertentu dari pokok hutang atau pada waktu lain yang telah ditentukan penerima gadai atau disebut juga bunga gadai/sewa modal.

Bank Jabar Banten Syariah adalah Bank Syariah yang memberikan pelayanan gadai syariah ini. Saat ini gadai syariah yang telah diberikan baru sepanjang gadai emas.

Gadai emas syariah maslahah adalah salah satu produk unggulan Bank Jabar Banten Syariah untuk melayani masyarakat yang membutuhkan pinjaman dengan proses cepat. Pinjaman Gadai Emas Bank Jabar Banten Syariah didasarkan pada akad Qordh yaitu pinjaman tanpa kelebihan dari pinjaman tersebut. 

Salah satu syarat Nasabah mendapatkan pinjaman Multiguna tersebut adalah dengan menyertakan agunan berupa barang emas boleh perhiasan atau barang lainnya yang terbuat dari emas minimal 17 karat ( + 70% ).

Setelah barang emas ditaksir dengan standar harga yang dikeluarkan oleh pemerintah, nasabah berhak mendapatkan pinjaman maksimal sebesar 85% dari nilai taksiran barang emas.

Nasabah cukup membayar biaya sewa tempat penyimpanan emas tersebut di Bank Jabar Syariah dengan biaya relatif murah sebesar Rp. 3.750,-/gram per bulan yang dibayar di awal akad. Masa pinjaman maksimal selama 2 tahun dan dapat diperpanjang.

Bila pada saat jatuh tempo ditambah masa tenggang selama 7 hari Nasabah tidak dapat melunasi pinjamanya, maka Nasabah dapat melakukan perpanjangan sebelum melewati masa tenggang dengan membayar kembali biaya sewa penyimpanan barang emas, atau bersama-sama Bank Jabar Syariah barang jaminan emas milik Nasabah dapat dijual dan hasilnya digunakan untuk melunasi kewajibannya kepada Bank Jabar Banten Syariah. Bila hasil penjualan tersebut lebih tinggi dari jumlah kewajiban Nasabah maka kelebihan tersebut menjadi milik Nasabah, sedangkan bila hasil penjualan barang emas lebih kecil dari jumlah kewajiban, maka tetap menjadi hutang Nasabah kepada Bank Jabar Syariah.  

Contoh sederhana adalah sbb :

Abib mempunyai keinginan untuk meminjam kepada BJB Syariah dengan membawa 10 gram LogaMulia Antam. Abib baru bisa mengembalikan pinjaman tersebut setelah 3 bulan. Berapa pinjaman yang diperoleh dan berapa biaya sewa tempat atas emas yang disimpannya di BJB Syariah?

Bank akan menaksir 10 gram LM tersebut = 10 X Rp. 330.000 (harga emas yang berlaku di bank) X 85% = 2.805.000. Dengan harga taksiran tersebut maka Abib dapat memeperoleh pinjaman/qard = Rp. 2.805.000. Sedangkan biaya sewa yang dibayar dimuka adalah 10 X 3.750 X3 BULAN = 112.500.

OK, kalo dibandingkan dengan misalnya ada perusahaan yang menghitung gadai secara konvensional. misalnya bunga 2% /bulan saja (umumnya rate sekitar itu) maka bunga yang harus dibayar adalah Rp.  168,300.00. Lebih mahal bukan ?

Selain itu, di pegadaian ketika terjadi pelelangan maka harga emas kelebihannya tidak akan diberikan kepada si peminjam. Lebih adil mana, jjika di BJB Syariah, maka setiap kelebihan pelelangan emas gadai akan dikembalikan kepada peminjam, karena bank syariah tidak diperkenankan mengambil kelebihan atas pinjaman.

Yuk,  ke BAnk Jabar Banten Syariah !!! Semoga bisnis anda lancar dan berkah hari ini ..


- Iwan Mulyana - 

Sub Branch Manager

Bank Jabar Banten Syariah Cabang Karawang

Jl. Kertabumi No. 89 Ruko No. 7

Karawang tlp. 0267-8453567,8453568

Kamis, 03 Juni 2010

Satu Prinsip Syariah Dalam Bisnis Anda

Banyak yang tak sadar apa yang menjadi tujuan utama ketika seseorang bekerja atau mencari nafkah.

Seorang penarik beca, maaf, dengan sederhananya berharap sekali membawa penumpang maka ia paling tidak bisa membawa uang untuk makan siangnya hari itu, jika dua kali untuk beli beras keluarganya, jika dapat tiga kali menarik maka ia bisa bisa membelikan lauknya lebih bergizi buat keluarganya.

Tetapi, apakah ia sadar ketika ia misalnya membawa seorang asing ia telah menipunya. Jika ia biasa mengutip tarif yg sama dari alun-alun Bandung ke Jl Naripan seharga rp. 10.ooo kepada seorang pribumi, maka ia tidak sadar ia telah menipu seorang asing dengan men-chargenya sebesar Rp. 50.000,00

Orang akan berkata mungkin sah-sah saja atas transaksi itu. Abang becak juga akan bergumam, bule kan banyak uangnya...wajar saja ia membayar sebesar itu. Dan bule pun mungkin tidak sadar bahwa ia telah membayar harga yg tidak wajar itu.

Apakah abang becak itu dibolehkan melakukan itu secara syariah?

Dalam prinsip umum ekonomi syariah, yang utama dalam transaksi adalah rela sama rela antara pelaku. Sepanjang mereka rela untuk transaksi itu maka transaksi itu adalah sah. Pada saat bertawar harga, bule mungkin telah rela dengan harga Rp. 50ribu untuk jarak yang sedekat itu. 

Akan tetapi ada prinsip lain yang mungkin lupa. Pada saat itu, mr Bule mungkin ia tidak tahu harga yang wajar. Tetapi jika ia tahu bahwa ia telah "dikadalin" harga sekali naik beca, maka ia akan merasa tertipu..Ia telah didzalimi.. Dalam prinsip islam, ia telah melanggar prinsip unknown to one party.

Maka dalam Islam, seseorang pelaku ia tidak boleh mengelabui lawan bisnisnya dengan ketidaktahuan lawan bisnisnya. Bule itu, meski ia tidak tahu tarif beca, ia tidak boleh dzalimi dgn harga yg tidak wajar.

So, abang Becak itu tentu tidak berkah dalam bisnis tarik becanya meski ia telah lelah mengayuh dengan tenaga dan keringat bercucuran serta terik matahari. Jika ia tahu tentang ini, tentu ia tidak akan berlaku adil atas tarifnya kepada siapapun..Dan Allah tentu akan melipatgandakan hartanya, dengan memberikannya harta yg tidak disangka-sangka.

Bukan hanya abang becak ini. Mungkin anda seorang dokter, penjual obat, penjual tiket, atau pedagang kue surabi pun...maka anda terikat prinsip Islam yang ini..

Maka, jika siapapun mempunyai tujuan bahwa bekerja, berbisnis hanya untuk menyambung hidup maka ia jauh dari keberkahan itu. Bisa jadi segala cara akan dilakukan untuk mencapai goal-nya itu. Tetapi, jika kita faham tentang apa saja yang boleh dan apa saja yng dilarang maka bisnisnya akan lancar insya Allah.

Sukses untuk setiap bisnis dan ikhtiar anda...semoga Allah memberikan keberkahan..amin

Wassalam 

Iwan Mulyana

Senin, 16 Februari 2009

Sukuk dan Persyaratan Investor

Sumber : Koran Seputar Indonesia
Sunday, 01 February 2009


Sukuk merupakan salah satu instrumen investasi yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah, karena itu pelaksanaannya harus tetap berpegang pada syariah atau memperhatikan syariah complience. Karena itu, sewa (ijarah) yang dilakukan pada instrumen investasi ini harus sesuai syariah, baik objek sewa, akadnya terhindar dari gharar, riba dan segala sesuatu yang diharamkan.


Menyewakan aset yang akan digunakan untuk memproduksi minuman keras, tempat berjudi, dan maksiat lainnya tidak dibenarkan dalam syariah dan kontrak ijarah yang dilakukan menjadi ijarah fasid.


Terkait dengan sukuk ijarah yang diterbitkan pemerinrah (SBSN), beliau mensyaratkan, Pertama, penggunaan dana ijarah oleh pemerintah digunakan untuk pos pengeluaran yang halal, tidak syubhat, apalagi yang haram. Kedua, Seharusnya digunakan untuk proyek produktif (infrastruktur), bukan untuk biaya rutin. Contoh infrastruktur antra lain jalan tol, bandara, monorel. Ketiga, portofolio jangan hanya melulu ijarah, tetapi juga mudharabah, musyarakah, salam dan istisna.. Keempat, kepada para investor, hendaknya jangan menjadikan sukuk menjadi lahan permaianan spekluasi di pasar sekunder (bursa).


Selanjutnya ia menambahkan, para investor, penerbit sukuk corporate (emiten) dan pihak terkait lainnya wajib memenuhi sejumlah persyaratan tertentu. Salah satu item yang harus dicantumkan adalah uang yang diperoleh dari sukuk tidak diperbolehkan untuk memproduksi yang tidak halal. Selain itu. Kata Agustianto. kedua belah pihak yang akan melakukan akad harus berkemampuan dan berakal. Selanjutnya, agar transaksi berbasis ijarah tersebut menjadi sah diperlukan sejumlah ketentuan tambahan.Misalkan saja kerelaan kedua belah pihak yang m e l a k u k a n akad.


Selain itu,dia menyebutkan, berbeda dengan konsep obligasi konvensional selama ini, obligasi syariah merupakan surat berharga berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah. Maka kegiatan margin trading dan short selling harus dihindari.

Dalam mekanisme sukuk, emiten diwajibkan membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Sukuk juga dapat memperluas dan mendiversifikasi basis investor dengan mengembangkan alternatif instrumen investasi, baik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri yang mencari i n s t r u m e n keuangan berbasis syariah. Karena itu sukuk secara otomatis mendorong pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia.


Dalam kondisi sekarang, penerbitan sukuk jelas menjadi alternatif bagi pemerintah maupun investor.Apalagi yang dikeluarkan pemerintah adalah sukuk ritel. Maka masyarakat luas dapat membelinya


Golongan masyarakat menengah bisa membeli sukuk ritel tersebut.Karena itulah, saya meyakini sukuk ritel yang dikeluarkan pemerintah akan banyak dicari masyarakat. Kata Agustianto. Keberadaannya juga akan memperbesar market share ekonomi syariah yang selama ini relatif masih kecil. Multiplier effect yang ditimbulkan sukuk ritel dan SBSN dipastikan akan semakin besar.

Meskipun sukuk bisa diperdagangkan di pasar sekunder, teatpi investor yang berinvestasi di sukuk ritel harus tetap mengedepankan asas islami. Jangan mencari keuntungan melalui sistem yang bertentangan dengan syariah itu sendiri.

Selanjutnya Agustianto menambahkan, ke depannya, mungkin pemerintah atau pihak-pihak terkait (DSN), bisa membuat sebuah lembaga atau institusi yang mengawasi aktivitas di pasar sekunder, sehingga masyarakat tidak terjebak pada transaksi spekulasi (margin trading dan short selling). Ketika ada investor yang hendak menjual sukuk, pengawas tersebut harus terlebih dahulu mempertanyakan alasan investor menjualnya, sebagaimana yang dilakukan Bank Indoensia pada transaksi valas. Kalau memang alasannya tidak bertentangan dengan syariah, maka boleh dan tentunya pengawas harus memberikan izin.


Akad ijarah sale and lease back memang meniscayakan investor terus mendapatkan keuntungan.Karena akan yang dipergunakan adalah sewa. Untuk ke depannya, pemerintah ataupun swasta harus berani mengeluarkan akad mudharabah, bay muajjal, bay istiglal, bay murabahah, dan sebagainya. Dengan demikian pilihan masyarakat untuk berinvestasi di sukuk menjadi semakin banyak.


Karena sistem yang dipergunakan adalah syariah, maka pemerintah ataupun swasta yang mengeluarkan sukuk harus transparan dalam mempergunakan dana yang berhasil diakumulasi dari mengeluarkan sukuk. Dana tersebut harus dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek produktif dan tidak bertentangan dengan syariah. Misalkan saja membangun infrastruktur jembatan.


*)Disarikan dan dimodifikasi dari wawancara dengan Bapak Agustianto* Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)

Sabtu, 14 Februari 2009

What is Riba?


by Dr. Khalid Zaheer Posted 13 July 2007

One of the most obvious reasons why modern banking is condemned conflicting with the Islamic teachings is “the unequivocal prohibition of riba by Quran, which the consensus of Muslim jurists has interpreted as covering all kinds of interest… “(Siddiqi 1983,9). The income of most of the banks comes predominantly from the difference between the interest they charge on loans to their borrowers and what they pay to their depositors. 

The Quran prohibits interest primarily because it is unfair. In this article we will take up some of the more important questions concerning the nature of interest to show that the interest charged by the banks is very much within the scope of riba which has been prohibited in Islam. 
Definition

As regards the definition of riba, Ahmad (S.M.) has rightly pointed out that if while reading Quran “lakum ru’us amwalikum [sic] (2:279) is read with zaroo ma baqiya min al-riba [sic] (2:278) we easily reach the definition of riba [sic]. Any excess above the borrowed sum [charged by the lender] is interest” (Ahmad, S.M 1989, 43). Abu Bakar Al-Jassas has defined riba-based arrangement thus: it is loan given for a certain duration with the condition of an increased obligation on the borrower [compared to the principal borrowed] (Al-Jassas n.d. Vol. 1,469). 

The clarification offered by Pakistan’s Federal Shariah Court’s Judgement on Riba is quite unequivocal It also states that it makes no difference whether the loan is for consumption purposes or for commercial purposes. Similarly, it does not matter if the rate of interest is low or high, simple or compound, for short or’ long term, between two Muslims or between a Muslim and a non-Muslim or between a citizen and a state or between two states. Any excess which is pre-determined over the principal sum in a loan transaction will constitute riba all circumstances. 

The above verdict is not the first of its kind to be presented by a group of Muslim legal experts on the subject in recent times. More than a quarter of a century ago in the Second Annual Conference of the College of’ Islamic Research in Cairo it was declared that “interest charged on the various kinds of loans constitutes unlawful usury, regardless of whether the loan is for what is called consumption or production [purposes]. ”It also affirmed that “much and little usury is unlawful”. Although ii has not been explicitly clarified in the above statement, the definition does seem to imply that in Islam riba does not recognize any distinction between interest agreed by the pasties and interest charged for de1ay in payment as penalty, as the laws of present-day states likes, for instance, Egypt and France do. 
Interest and Rent

Many modern writers tend to confuse interest with rent because of the apparent similarity in the two arrangements of carrying a fixed charge. The distinction between the two, though, is quite clear. Whereas interest, in the context of the Islamic teachings. is the fixed return demanded from another party on borrowing something which by nature is such that It is exhausted when it is put to use, rent is associated with those assets which remain, by and large, intact while they are in the process of being used. Interest has been prohibited because, once exhausted, the remaking of the borrowed article itself is not guaranteed. The only fair way to lend such articles, therefore, is to do so on a sharing agreement for business purposes and an interest-free basis on loans for personal needs)’ In the case of rental agreements, since nothing normally happens to the asset borrowed, the borrower is not likely to be in serious trouble like his counterpart hi the interest-based arrangements and should, therefore, have no difficulty in paying the fixed charge. In a cue where something happens to the asset that destroy it completely or partially, it is the sole responsibility of the owner, unless it is proved flit the user damaged the asset deliberately or was guilty of willful neglect in protecting It. Indeed, the lender of Interest-based loans also undertakes the default risk, yet that risk is only in the event that the borrower disappears or somehow proves that he is unable to pay back the loan even from his personal wealth. Under normal circumstances the lender is able to recover his fixed charge from the borrower. Moreover, what is more important is the fact that the lender does not intend to forego his interest even in the case where the borrower loses the principal amount as well. The fact that the latter sometimes gets Say without paying interest or even the principal amount is not because of a kind-heisted disposition on the part of the lender, but rather in spite Of his firm resolve. In short, the only reason why Qur’an has prohibited interest is that the chargers of interest disregard the plight of the borrowers and not necessarily because they do not undertake any risk at all It is therefore, not quite correct to state that in Islam the “general principle which is beyond dispute as being the criterion for determining the permissibility or otherwise of any method of financing a that the financier cannot avert the taking of some risk if he wishes to derive an income” (Chapra 1985, 166). 

Keynes made a distinction between interest charged on capital and the rent on land by suggesting that while there could be intrinsic reasons for scarcity of land, there west none in the case of capital, at teat in the long run. (Keynes 1973, 376) Indeed, there are reasons for criticism on charging interest from a purely economic point of view as well; however, the basic reason. Why it has been condemned by Islam is moral, i.e. interest exploits the need of individuals and stems from greedy and selfish motives of the owners of capital in complete disregard of benevolence, justice, and fairy play. Rent, under normal circumstances, if it is not unfairly exorbitant, cannot be subjected to the same criticism. 
Interest on Consumption Loans

There are writers who believe that only that type of interest which is charged by rich money-lender on consumption loans to the poor is prohibited by Qurãn. The Advisory Council of Islamic Ideology of Pakistan too in its meeting on January 33, 1964 at Karachi decided “that ‘Riba’ is forbidden but [the Council] is in disagreement as to whether ‘Interest in the form in which it appears in public transactions’ which in the opinion of Council includes ‘institutional credit’ as well would also be covered by ‘Riba’ specified in the Holy Quran...” There are others who believe that there, was no direct evidence in the original teachings of Islam refuting that claim (Khan, W.M. 1985. 27). 

There have been attempts to refute such claims and misgivings on the basis of Qur’an which, after declaring all interest-based borrowing and lending unlawful says “if a debtor is in want, give him time until his circumstances improve (Qur’an 2:280). It has been argued that Qur’an has, in this verse, directly refuted all such claims by mentioning that during the time of its revelation not all the borrowers were needy, otherwise the conditional statement “if a debtor is in want” would have appeared meaningless. Thus it is concluded that in those times too interest-based loans were taken out for commercial purposes as well and that interest is prohibited by Qur’an, whatever the purpose (lslahi, Amin A. 1976, 594-5) Islahi goes on to argue further from the wordings of Quran that in those days too most of the loans were needed for commercial purposes (ibid.). He has also quoted Hamiduddin Farahi’s (1863-1930) opinion about this verse. He quotes him thus: 

It is quits evident from the wording of this verse [i.e. Qur’an 2:280] that the Arabs used to charge interest from the well-to-do as well. The people of Quraish, moreover, were traders and commercial interest was common amongst them. I, therefore, find not much of a difference between their conditions sad ours concerning interest and God knows, the truth (Ibid., 595). 

The argument (mm Quran alone, however, does not appear to be as irrefutable as it has been made to look. In the absence of supportive historical evidence the verse cannot b claimed to be offering conclusive evidence to the effect that the borrowers at the time of revelation of Qur’an ware mostly well-to-do people who, ipso facto, ought to have borrowed for commercial purposes. What has been ignored in the argument is that the text is testifying to the fact that few borrowers were “in want” at the time of revelation of the relevant verses prohibiting and not necessarily at the time of borrowing. After all, is it not possible that the people who sit deprived at the time of borrowing remain no more deprived when the loans mature? Although It is not very likely that such a change of fortune can take place on a mass scale under normal circumstances, to assume that all borrowers were definitely well-to-do traders at that time is no more than a theoretical possibility, which makes the argument less than thoroughly convincing. However, there is enough historical evidence to show that the Arabs used to borrow funds purely for commercial purposes in the pro-Islamic period. Mecca, Taif, and Najran were well known commercial centres. In the absence of agriculture and industry, trading was the only source of earning and capitalists used to give loans on interest to merchants and entrepreneurs. Udovitch has firmly stated that “Any assertion that medieval credit was for consumption only and not for production is just untenable with reference to the medieval Near East“ (Udovitch 1970, 86). In the above mentioned quotation, Farahi has also supported his argument from Quran by presenting historical reference as well. 
Simple Interest and Anatocism

There are again other writers -- like, for instance, Fazlur Rahman -- who think that only excessive compound interest is prohibited by Quran, and not the moderate, simple one. 

Presumably ‘based on a similar opinion, interest exceeding 8 percent was prohibits in Egypt, prior to the introduction of the Civil Code of 1949. On the introduction of the code which was drafted under the supervision of ‘Abdar-Razzaq as-Sanhuri, some changes were introduced to the earlier law. One of the changes stipulated that interest on Interest was prohibited, Another stipulation of the act was that the totality of interest due should not be superior to the principal (Mallat 1988, 75-6). This latter stipulation seems to have had at least the qualified backing of Abu Zahrah (1898-1974), a prominent jurist from. the famous Islamic university of Azhar, Although he pleads that the bank; should operate on the principle of participation in the profits and losses (Abu Zahrah n.d., 57), he also offered his opinion about the stipulation referred to above thus: “The modern Civil Code of Egypt has established this Qur’anic principle (which prohibits charging of exploitative interest rates] and decided that [the totality] of interests cannot exceed the principal” (ibid., 56). 

The opinion of most of the writers who are in agreement, with the above views stems to be based on a verse of Qur’an which says: “O you who believe, do not take riba charging [it] doubled and redoubled” (Qur’an, 3:1 30). They conclude that since Qur’an has condemned charging of compound interest in this verse, all other vents too should be understood in the tight of this clarification. 

This conclusion, however, is as unacceptable as if one were to conclude from the Qur’anic verse “Do not kill your children out of fear of poverty’ (Qur’an, 17:3)) that killing one’s children for reasons other than fear of poverty is legitimate according to Qur’ân. The two verses, far from bearing the meaning given by the two above-mentioned interpretations, are suggesting that whereas charging interest and killing one’s children are criminal acts in any case, they are even more detestable if they are committed “doubled and redoubled” and “out of fear of poverty” respectively. These additional phrases in the text are meant to expose the extremely callous nature of the crimes rather than to provide essential qualifying expressions to define the crimes themselves. 
Is Indexation Allowed: 

It has been explained above that Sunnah of the prophet has emphasized that in case of transactions involving credit, whether in the case of sale or financial debt, it is highly important that the returned article be absolutely identical to the one borrowed otherwise there is a danger of interest being involved in the exchange. This principle leads U5 to the question of return of financial loans in the inflationary or deflationary periods when the value of. the amount returned undergoes either depreciation or appreciation compared to what it was when borrowed. Obviously, if at the time of return of loan, for instance, the real value of the amount returned has eroded, then clearly the intent of the teaching of sunnsh is being violated. After all, money today has no intrinsic value of its own other than what it can buy (Ranlett. op. cit., 5). If the hundred pounds lent in 1991 by a person to another could buy x grams of gold and in 1992 when the amount was returned, it could buy y grams of gold (and x end y are unequal), clearly it would be a violation of the condition laid down in the hadith that “If you lend gold then receive back the same gold: the same weight and the same quality ...“ (Muslim. op. cit., Vol 4, 211). It also shows that giving interest to a lender in a period of high inflation at a rate less than the inflation rate, which is called negative rate of interest, is also unfair for the lender and, therefore, should be avoided. In other words, the prohibition of riba applies to real interest, not nominal interest, as with inflation a ban on the latter may result in negative real interest (Baldwin and Wilson 1988, 73). Moreover, in the case of deflation there is a possibility of positive real interest as well, even in the case a borrower is returning only the principal amount of’ the loan. Even though falling prices are practically seldom experienced, their occurrence is not impossible, as was experienced in the great depression of the 1930s. 

The solution to the problem lies in indexing the loans with the price level of a basket of commodities, so that as the loan is returned it is the value of the amount borrowed which is paid back and not the face value of the currency which has nothing similar to what was lent except the meaningless figure of the loan expressed in a certain currency. The solution of indexation, however, is not acceptable to many present-day Muslim economists. 

One reason presented against indexation is that such an arrangement would be ‘similar to interest [such] that it would be impossible to tell one from the other”.” I have already submitted that, contrary to the above claim, it is the very spirit of avoiding interest which compels one to suggest the solution of indexation. A somewhat similar stand was. earlier taken by the Council of Islamic Ideology (CII) or Pakistan against indexation whereby it was argued that it is a requirement of the shariah that the borrower should return to the lender the same quantity as borrowed, even though the price of the commodity may have changed.7~ That is, however, precisely the principle I am invoking, although to bring home just the opposite conclusion. Indeed, if money is to be accepted as a commodity with its own intrinsic value then the council’s view would have been correct. But if that is not the case -- and indeed modern-day money is not desired for its own sake but for the sake of the commodities it can fetch” •- then it can be safely concluded that the council has incorrectly concluded from a correct principle just the opposite of what it requires. 

The second argument against the idea presented is that since inflation is the result of circumstances beyond the control of the borrower hence he cannot be held responsible for loss of purchasing power to the lender (Siddiqi 1992, 407). In response to that it could be argued that the erosion in value of the loans has not been caused by the either, so why should he suffer? In fact, the spirit of justice of the economic teachings of Nan demands that neither of the panics should suffer unreasonably. Interestingly, only a few lines later the author shows a complete reversal of opinion thus: “The extreme case in which very high rate of inflation renders a currency almost worthless is however, a case apart. In such cases it can be considered that now the worthless currency is a money different from the one in ‘which the loan was contracted. A formula establishing the ‘rate of exchange’ between the ‘new’ and old currency can be devised and all earlier loans converted to the ‘new currency accordingly” (ibid., 408). it is difficult to appreciate how a principle which under normal circumstances is rejected because it is seems to be unfair to the borrowers can be argued to be acceptable in extreme cases? Either the principle is fair or unfair. How can it be fair under one Set of circumstances and unfair under others? Moreover, who is going to decide if the inflation rate has gone high enough to be declared extreme? 

A thin criticism on the idea of indention is that it “gives a privileged position to capital as compared to other factors of production which are also affected by inflation in one way or the other.” It certainly seems to be a valid criticism if the proposal confines the application of indexation to loans alone. We have seen in this chapter that (he economic teachings of Islam emphasize, more than anything else; implementation of justice in all areas of economic dealings. It is in that very spirit that the case of indexation of loans: is being pleaded. How is it possible that the proposal can overlook the equally unfair treatment of wages, salaries, and other contracts which arc confronted with similar difficulties due to inflation? Instead of arguing against the idea of indexation of loans, it should be urged that all other areas of payment affected by inflation should be covered by the proposal as well. One way of going about it in the case of wages and salaries is to ensure that alt public and private sector organizations should increase wages and salaries of, their employees every year at least by the percentage of inflation of that particular year. 

A fourth criticism raised against indexation is that when the risk-taking investors are not assured of a stable real value of their investments, there appears no reason for savers and cash holders to be assured when they do not even take any risk (Chapra, op. cit., 40). The logic behind this criticism is that since risk-taken are not immune from losses, why should those who choose to avoid risk be saved against erosion in the value of their money? The obvious answer lies within the statement of this question: Since risk shirkers choose not to participate in the profits of business ventures, they have a right to get back exactly what they have lent and the risk-taking investors should face losses in difficult periods because in good periods they also take profits and, moreover, that is the principle they have chosen their capital to be dealt with in the real world the profit margins do normally take into consideration the risk element attributable to inflation involved in the investment. The same author admits a couple of pages earlier that Inflation undoubtedly does injustice to the interest-free lender by eroding the real value of his loan (ibid., 38). When it comes to the solution of the problem, however, he chooses to oppose the only workable remedy. 

A fifth objection to the idea of indexation is that sometimes borrowers are unable to earn enough to return the real value of the principal to their lenders. In that case, it would be unfair to require the indexed-value of the loans to be returned (Khan, A.J., op. cit.). However, this objection can also be raised against the condition of returning the nominal value of a loan if the borrower has been unable to earn enough to do so. In fact, as mentioned elsewhere, Quraan urges the believer to forego the condition o demanding the principal amount as well if the borrower is in difficulty. Doing so, however, would be an optional act of benevolence on the part of the lender in exceptional cases. Under normal circumstances, a borrower is bound to return to his lender the principal amount. What’ is being argued here is that the principal amount which the borrower is obliged to return is the real value of the loan taken and not its nominal value. 

The justification of indexation can also be viewed from the point of view of’ credit sales. Whereas pre-determined higher prices for; credit sates is undoubtedly riba if the deferred prices of commodities are forced to remain equal to spot prices in inflationary periods, it would be unfair to sellers and they would understandably stop making credit sales. After all, why should they sell at a lower real price on credit, when they can get a higher one on cash? If the answer is that the sellers should be allowed to charge the prevailing price rather than. the one which stood at the lime the possession of the commodity was transferred to the buyer, then it will be a solution based on the same broad principle which is applied in the case of indexation Why should that principle be allowed in one area of the economy (i.e. credit sales) and disregarded in others (financial credit)? 

The rationale for indention can also be viewed from another angle. It has been pointed out in defence of the Islamic proscription of interest that money represents the monetized claim of its possessor to the property rights created by assets that were obtained through work or transfer. Lending money is virtually a transfer of this right, and all that can be claimed in return is its equivalent and no more. Interest on money represents unjustified creation of property rights because it represents a right claimed outside the legitimate framework of recognized property rights (Khan and Mirakhor 1987, 4). In case borrowed money is returned on the basis of the principle of indention, it represents neither the creation of any extra property rights for the lender nor the expropriation of some of those rights for him, as happens when some one lends interest-free Loan in an inflationary period, in fact, it would be an effort to enable the lender to receive back the equivalent of what he had lent. Thus the proposal of extending index-based loans appears to be the most acceptable to the spirit of the Islamic teachings of economic justice. 

On the question of how to implement the principle of indention1 the suggestion of Khan (M.A) is worth looking into. He has proposed the floating of a new currency which can be used for all contracts involving deferred payment by one party to another. The value of that currency should be equal to a basket of commodities and it should be readjusted daily on the basis of the prevailing market price of (he commodities. Thus all borrowers should borrow and likewise return in that currency whatever may be its value in relation to the other currency. Likewise, all agreements of salaries, wages, and contracts involving payments over a period of time could also be agreed upon in that currency. He also proposes that the currency should have a single buying and selling rate to avoid speculation (Khan, M.A., op. cit., 6). 

Despite the fact that the proposal seems quite promising, it appears to have at least one potential flaw which might wreck the whole idea: There appears to be no way suggested in the proposal to prevent the proposed second currency - which would assume the role of the store of value and, perhaps, legal tender as well -- from driving the official market currency from the economy. When two currencies are simultaneously allowed to operate, the more stable one will be preferred by all in every transaction and this would lead it to be virtually the commonly used currency at the expense of the official one. Thus a reversal of Gresham’s Law is likely to be experienced: ‘good money’ will drive out ‘bad money’. If any limitations on the supply of that currency were to be imposed, such a move would restrict its effectiveness in discharging the function for which it was proposed. If it is suggested that such currency notes would only be supplied to those who genuinely need them, then an unnecessarily large task of distinguishing the genuine demands from the non-genuine ones would have to be undertaken. 

The proposal has, however, paved the way for further discussions and proposal for introducing proper indexation to protect asymmetry in the exchange of values in credit arrangements at different points of time. It is surprising that the writer who has presented the above proposal formally to introduce indexation is himself a supporter of the “arguments against indexation, both from the shariah and economic point of view.“ (ibid.). His subsequent attempt to introduce indexation is enough to undermine that statement. 

There are other proposals as well to index loans. The proposal of Javed to give “Purchase Value Loans” in place of money loans by linking the purchase value with certain basic commodities, is one of them,” Indeed, if the principle of fair treatment for both panics is accepted, there should not be a dearth of proposals, It should, however, be pointed out that even if the best of indexation instruments are applied meticulously, there ‘will stilt be some variation in the actual value of the amounts borrowed and returned. Complete and total parity in the values borrowed and returned is neither possible nor should it be expected. What needs to be done is to secure as much fairness for both panics as is possible Allah does not expect from believers a behavior that is beyond their ability. Qur’an says: “And give in full measure, and weigh justly on the balance; no burden do We place on a soul beyond capacity” (Qur’än, 6:152), 

ft also needs to be clarified that indexation should be employed only when money is borrowed either for business or consumption purposes, It cannot be used in. case money is given in trust for the purpose of safe-keeping alone, The reason is that while in the former case the borrower has made use of the current value of the money he obtained and should, therefore, be obliged to return the same value, in the latter the funds have remained unused, accruing no benefit to the possessor and, for that reason, should not oblige him to return anything to the owner except the face value of the funds entrusted to him. 

The decision of Sindh High Court in Pakistan in the early 1990s to allow repayment of a loan on the basis of indexation rather than interest is a judicial recognition of the validity of indention at the judicial level as an acceptable principle for repayments of loans. 
Receiving Favours from Debtors

Another important clarification made by sunnah with regard to interest is that the creditors are required to refrain not just from accepting back any value more than the principal extended to the debtor, but should avoid all other favours ‘n the form of gifts or services which cannot be attributable to any other reason but the fact that they are creditors. 

For instance, Anas Ibn Malik reports that the prophet, peace be upon him, said: “When one of you grants a loan and the borrower offers him a dish, he should not accept it; and if the borrower often a ride on an animal, he should not ride, unless the two of them have been previously accustomed to exchanging such favours mutually” (Al-Bayhaqi n.d., Vol. 5, 350). Likewise, the same narrator reports that the prophet said this: “If a man extends a loan to someone he should not accept a gift.”3 It has been rightly pointed out that this prohibition is not restricted to the few examples of favours mentioned in the above narrations but extend to any kind of favours which a tender receives from his borrower, even if it is apparently as insignificant as taking advantage of the shade of his walls (Saleh, op. cit. ,414).